Pemufakatan Jahat Pinangki hingga Terima Suap Djoko Tjandra

Jaksa Pinangki Sirna Malasari didakwa menerima suap dari Djoko Tjandra sebesar USD 500 ribu terkait pengurusan fatwa MA. Selain itu Pinangki juga didakwa melakukan permufakatan jahat terkait pengurusan fatwa MA Djoko Tjandra.

Kasus bermula pada September 2019, terdakwa Pinangki bertemu dengan Rahmat, Anita Kolopaking di Jakarta. Pada saat itu terdakwa Pinangki mengenalkan Anita ke Rahmat sebagai pengacara.

“Terdakwa meminta kepada Rahmat untuk dapat dikenalkan dengan Joko Soegiarto Tjandra yang berstatus Daftar Pencarian Orang (DPO) dalam perkara tindak pidana korupsi berdasarkan putusan PK nomor 12 tanggal 11 Juni 2009. Atas permintaan terdakwa tersebut, Rahmat menyanggupinya dengan mengatakan akan mencarikan informasi terlebih dahulu soal itu,” ucap jaksa membacakan surat dakwaan itu dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Raya, Jakarta Pusat, Rabu (23/9/2020).

Terdakwa Pinangki selanjutnya berbincang dengan Anita untuk menanyakan permintaan pengurusan fatwa MA apakah putusan PK nomor 12 tahun 2009 dan Putusan MK nomor 33 tahun 2016 bisa dieksekusi atau tidak. Selanjutnya Anita merasa memiliki banyak teman di MA dan mengaku akan menanyakannya ke MA.

“Karena Anita Kolopaking merasa punya banyak teman di Mahkamah Agung maka Anita Kolopaking berencana akan menanyakan hal tersebut kepada temannya yang merupakan seorang hakim di Mahkamah Agung, apakah bisa mengeluarkan fatwa agar tidak dilaksanakan eksekusi putusan PK nomor 12 tahun 2009 tersebut,” kata jaksa.

Singkat cerita, Pinangki bersama Anita dan Rahmat berangkat ke Kuala Lumpur untuk menemui Djoko Tjandra di kantornya. Pinangki memperkenalkan diri sebagai jaksa dan memperkenalkan sebagai orang yang mampu mengurusi upaya hukum Djoko Tjandra.

“Terdakwa memperkenalkan diri sebagai jaksa dan memperkenalkan diri sebagai orang yang mampu mengurusi upaya hukum Joko Tjandra,” katanya.
Awalnya Djoko Tjandra tidak langsung percaya tetapi Djoko Tjandra meminta agar Pinangki membuat ‘proposal’ rencana yang disebut dengan ‘action plan’.

“Untuk melancarkan rencana tersebut, Djoko Tjandra meminta kepada terdakwa mempersiapkan dan membuat action plan terlebih dahulu dan membuat surat ke Kejaksaan Agung menanyakan status hukum Joko Soegiarto Tjandra, lalu terdakwa menyampaikan akan menindaklanjuti surat tersebut,” katanya.

Pada pertemuan itu juga dibahas mengenai biaya pengurusan fatwa MA melalui Kejaksaan Agung sebesar USD 100 juta. Akan tetapi Djoko Tjandra pada saat itu hanya menyetujui dan menjanjikan sebesar USD 10 juta yang akan dimasukan dalam action plan.

“Pada saat itu terdakwa secara lisan menyampaikan bahwa terdakwa akan mengajukan proposal berupa ‘action plan’ yang isinya menawarkan rencana tindakan dan biaya untuk mengurus fatwa MA melalui Kejaksaan Agung sebesar USD 100 juta, namun pada saat itu Joko Soegiarto Tjandra hanya menyetujui dan menjanjikan sebesar USD 10 juta yang akan dimasukan ke dalam action plan,” katanya.

Dalam action plan itu terungkap awalnya pengacara mengirimkan surat kepada pejabat di Kejagung terkait permintaan pengurusan fatwa ke MA. Fatwa tersebut dimaksud agar Djoko Tjandra dapat kembali ke Indonesia tanpa di pidana.

Kemudian dalam action plan itu, Kejaksaan Agung akan menindaklanjuti permohonan permintaan fatwa MA itu ke MA melalui surat yang dikirim pejabat Kejaksaan Agung berinisial BR ke pejabat MA berinisial HA. Selanjutnya di dalam action plan itu juga terungkap pejabat MA berinisial HA menjawab surat pejabat Kejagung terkait permohonan fatwa.

Inti dari proposal action plan tersebut adalah agar Djoko Tjandra tidak dapat dieksekusi dan dapat kembali ke Indonesia tanpa menjalani pidana. Bahkan dalam action plan tersebut Djoko Tjandra juga akan memberikan pembayaran tahap II konsultan fee 25% USD 250 ribu atas kekurangan pemberian fee terdakwa USD 1 juta yang sebelumnya telah dibayar DP USD 500 ribu jika semua rencananya berhasil terlaksana.

Dalam perjalannya, Pinangki menerima uang dari Djoko Tjandra yang diberikan melalui adik iparnya Herriyadi kepada Andi Irfan Jaya sebesar USD 500 ribu. Sebagiannya sebesar USD 50 ribu untuk diberikan ke Anita Kolopaking, dengan alasan terdakwa baru menerima USD 150 ribu.

Namun pada akhirnya tak ada yang terlaksana dari action plan itu. Djoko Tjandra membatalkan rencana action plan tersebut pada Desember 2019.
“Atas kesepakatan sebagaimana dalam action plan tersebut tidak ada satupun yang terlaksana padahal Joko Tjandra telah memberikan DP kepada terdakwa melalui Andi Irfan sebesar USD 500 ribu sehingga Joko Tjandra pada bulan Desember 2019 membatalkan action plan dengan cara memberikan catatan pada kolom notes dari action plan tersebut dengan tulisan tangan ‘NO’ kecuali pada action yang ke-7 dengan tulisan tangan “bayar nomor 4,5 yaitu apabila action ke-4 dan ke-5 berhasil dilaksanakan serta action ke-9 dengan tulisan tangan ‘Bayar 10 M’ yaitu bonus kepada terdakwa apabila action ke-9 berhasil dilaksanakan atau Joko Tjandra kembali ke Indonesia,” katanya.

Selain itu Pinangki juga didakwa melakukan permufakatan jahat bersama dengan Andi Irfan Jaya, Djoko Tjandra terkait pengurusan fatwa ke MA. Adapun permufakatan jahat itu berupa pemberian uang ke pejabat di Kejaksaan Agung dan MA sebesar USD 10 juta.

“Telah melakukan permufakatan jahat dengan Andi Irfan Jaya dan Joko Soegiarto Tjandra untuk melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 yaitu memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri yaitu bermufakat jahat untuk memberi hadiah atau janji berupa uang sebesar USD 10 juta kepada pejabat di Kejaksaan Agung dan di Mahkamah Agung dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya,” katanya.

Pinangki didakwa melanggar Pasal 5 ayat 2 jo Pasal 5 ayat 1 huruf a UU nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Subsidair Pasal 11 UU Tipikor.

Pinangki juga didakwa pasal pencucian uang, yaitu Pasal 3 UU nomor 8 tahun 2010 tentang TPPU. Pinangki juga didakwa terkait permufakatan jahat pasal 15 jo pasal 5 ayat 1 huruf a UU Tipikor, subsidair Pasal 15 jo Pasal 13 UU Tipikor

Alfian G Raditya